Saturday, February 28, 2009

Sebotol Minyak

Seorang ibu menyuruh seorang anaknya membeli sebotol penuh minyak. Ia memberikan sebuah botol kosong dan uang sepuluh rupee. Kemudian anak itu pergi membeli apa yang diperintahkan ibunya. Dalam perjalanan pulang, ia terjatuh. Minyak yang ada di dalam botol itu tumpah hingga separuh. Ketika mengetahui botolnya kosong separuh, ia menemui ibunya dengan menangis, "Ooo... saya kehilangan minyak setengah botol! Saya kehilangan minyak setengah botol!" Ia sangat bersedih hati dan tidak bahagia. Tampaknya ia memandang kejadian itu secara negatif dan bersikap pesimis.

Ibu itu menyuruh anaknya yang lain untuk membeli sebotol minyak. Ia memberikan sebuah botol dan uang sepuluh rupee lagi. Kemudian anaknya pergi. Dalam perjalanan pulang, ia juga terjatuh. Dan separuh minyaknya tumpah. Ia memungut botol dan mendapati minyaknya tinggal separuh. Ia pulang dengan wajah berbahagia. Ia berkata pada ibunya, "Ooo... ibu saya tadi terjatuh. Botol ini pun terjatuh dan minyaknya tumpah. Bisa saja botol itu pecah dan minyaknya tumpah semua. Tapi, lihat, saya berhasil menyelamatkan separuh minyak." Anak itu tidak bersedih hati, malah ia tampak berbahagia. Anak ini tampak bersikap optimis atas kejadian yang menimpanya.

Sekali lagi, ibu itu menyuruh anaknya yang lain untuk membeli sebotol minyak. Ia memberikan sebuah botol dan uang sepuluh rupee. Anaknya yang ketiga pergi membeli minyak. Sekali lagi, anak itu terjatuh dan minyaknya tumpah. Ia memungut botol yang berisi minyak separuh dan mendatangi ibunya dengan sangat bahagia. Ia berkata, "Ibu, saya menyelamatkan separuh minyak."

Tapi anaknya yang ketiga ini bukan hanya seorang anak yang optimis. Ia juga seorang anak yang realistis. Dia memahami bahwa separuh minyak telah tumpah, dan separuh minyak bisa diselamatkan. Maka dengan mantap ia berkata pada ibunya, "Ibu, aku akan pergi ke pasar untuk bekerja keras sepanjang hari agar bisa mendapatkan lima rupee untuk membeli minyak setengah botol yang tumpah. Sore nanti saya akan memenuhi botol itu."

Kita bisa memandang hidup dengan kacamata buram, atau dengan kacamata yang terang. Namun, semua itu tidak bermanfaat jika kita tidak bersikap realistis dan mewujudkannya dalam bentuk kerja.

Disadur dari: William Hart, The Art Of Living

Pelajaran Dari Seekor Keledai

Suatu hari keledai milik seorang petani jatuh ke dalam sumur. Sementara si petani, sang pemiliknya, memikirkan apa yang harus dilakukannya. Akhirnya, ia memutuskan bahwa hewan itu sudah tua dan sumur juga perlu ditimbun karena berbahaya. Jadi tidak berguna menolong si keledai. Ia mengajak tetangganya untuk membantunya. Mereka membawa sekop dan mulai menyekop tanah ke dalam sumur.

Ketika si keledai menyadari apa yang sedang terjadi, ia meronta-ronta. Tetapi kemudian, ia menjadi diam. Setelah beberapa sekop tanah dituangkan kedalam sumur, si petani melihat ke dalam sumur dan tercengang melihatnya. Walaupun punggungnya terus ditimpa oleh bersekop-sekop tanah dan kotoran, si keledai melakukan sesuatu yang menakjubkan. Ia mengguncang-guncangkan badannya agar tanah yang menimpa punggungnya turun ke bawah lalu menaiki tanah itu.

Si petani terus menuangkan tanah kotor ke atas punggung hewan itu, namun si keledai juga terus mengguncangkan badannya dan kemudian melangkah naik. Si keledai akhirnya bisa meloncat dari sumur dan kemudian melarikan diri.

Setiap masalah kita merupakan satu batu pijakan untuk melangkah. Kita dapat keluar dari “sumur” penderitaan yang terdalam dengan terus berjuang, jangan pernah menyerah. Guncangkanlah hal-hal negatif yang menimpa dan melangkahlah naik.
Demikian telah dikatakan oleh Sang Buddha …
“Ada satu hal, wahai para bhikkhu, yang jika dikembangkan dan terus dilaksanakan akan membuat orang memperoleh dan mempertahankan dua jenis kesejahteraan yang akan bertahan di masa depan.”
“Apakah satu hal itu?”
“Hal itu adalah ketekunan dalam perbuatan-perbuatan yang bermanfaat.”
“Demikianlah satu hal itu, wahai para bhikkhu…”

Orang bijaksana memuji ketekunan
Dalam melakukan perbuatan-perbuatan yang bermanfaat;
Karena orang yang bijaksana dan tekun
Akan memperoleh manfaat yang ganda:
Kesejahteraan disini dan kini
Serta kesejahteraan dalam kehidupan yang akan datang.
Dan karena telah mewujudkan kebajikan,
Orang bijaksana itu disebut guru.
Itivutaka I-23

Ketekunan adalah Kekuatan

Apa yang kita raih sekarang adalah hasil dari usaha-usaha kecil yang kita lakukan terus-menerus. Keberhasilan bukan sesuatu yang turun begitu saja. Bila kita yakin pada tujuan dan jalan kita, maka kita harus memiliki ketekunan untuk tetap berusaha. Ketekunan adalah kemampuan untuk bertahan ditengah tekanan dan kesulitan. Kita harus tetap mengambil langkah selanjutnya. Jangan hanya berhenti di langkah pertama. Memang semakin jauh kita berjalan, semakin banyak rintangan yang menghadang. Bayangkan, andai saja kemarin kita berhenti, maka kita tidak berada di sini sekarang. Setiap langkah positif menaikkan nilai diri. Apapun yang kita lakukan, jangan sampai kehilangan ketekunan kita. Karena ketekunan adalah daya tahan kita.
Pepatah mengatakan bahwa ribuan kilometer langkah dimulai dengan satu langkah. Sebuah langkah besar sebenarnya terdiri dari banyak langkah kecil. Dan langkah pertama keberhasilan harus dimulai dari diri kita sendiri, dari pikiran kita. Karena itu, mulailah kemajuan dengan mulai berlatih mengendalikan pikiran-pikiran kita.


Kebanggaan kita yang terbesar adalah bukan karena kita tidak pernah gagal, tapi bangkit kembali setiap kali kita jatuh ~ Confusius

Prasangka

"Jangan memelihara "piaraan" yang bernama prasangka, karena prasangka akan membuat arah tindakan Anda keluar dari rel."
Alkisah seorang wanita tua memenangkan sekeranjang koin di sebuah mesin judi di Atlantic City. Tentu ia sangat senang dengan kemenangan luar biasa malam itu, dan merencanakan untuk merayakannya bersama suami dengan makan malam bersama.

Sementara suaminya memesan tempat ke sebuah restoran, wanita tua ini kembali ke kamar untuk menyimpan sekeranjang koin kemenangannya itu. Tentu dengan perasaan was-was, karena takut dirampok.
Ia naik ke kamar melalui lift yang tersedia, dan ketika ia masuk, di dalamnya ternyata masuk juga dua pria negro berkacama hitam, bertubuh kekar dan kelihatan sangat sangar. "Aduh, jangan-jangan mereka ini perampok yang mengincar para penjudi yang habis menang," pikirnya. Tetapi wanita tua itu, meski dengan ketakutan, masuk ke dalam lift juga.

"Ah, pasti bukan," hiburnya dalam hati. Tetapi toh ketakutannya makin bertambah, apalagi ketika dilihatnya-dari sudut matanya, mereka tidak tersenyum sama sekali! Wanita tua itu lalu mendekap erat keranjang koinnya dan berbalik menghadap pintu untuk menutupi rasa takutnya.
Jantungnya berdegup keras ketika ternyata lift tidak bergerak! "Waduh, mati aku! Mereka pasti akan merampokku!" pikirnya.

Wanita tua itu mulai panik! Keringat dingin bercucuran! "Tuhan, saya telah terperangkap oleh dua perampok ini!" di dalam hati ia berdoa.
Tiba-tiba salah satu dari dua orang negro yang seram itu berkata keras memecahkan kesunyian, "Hit the floor!"

Secara refleks wanita tua itu pun tiarap memukul lantai lift, sehingga keranjang koinnnya tertumpah dan koin berhamburan di dalam lantai lift! Ia diam sambil tetap menunduk panik dan berdoa, "Tuhan, tolong saya!"
Kemudian ia merasakan uluran tangan dari salah satu negro itu, "Mam, saya meminta teman saya untuk menekan tombol lantai berapa kita akan menuju, bukan meminta Anda memukul lantai lift!" kata pria itu sambil menahan tawa luar biasa.

"Ya ampuuun." wanita tua itu merasa malu sekali dan meminta maaf kepada dua orang negro itu yang disangkanya akan merampoknya.
Dua orang negro itu, sambil tetap menahan tawa membantu mengumpulkan koin-koin serta mengantar wanita tua itu ke depan pintu kamar. Tawa mereka meledak bersama-sama ketika si wanita tua itu kembali minta maaf dan kemudian masuk ke dalam kamar.
Esok paginya, di depan kamar wanita tua itu diletakkan rangkaian bunga dengan ucapan,"Terimakasih untuk tawa terbaik yang kita lakukan bersama tadi malam." - dan di bawahnya tertera nama bintang film dan pebola basket negro terkenal di Amerika Serikat.

Jangan memulai sesuatu dengan prasangka dan pikiran negatif, karena hal itu akan membawa Anda kepada tindakan-tindakan yang salah, yang kesalahan itu akan makin membesar seperti bola salju.

Bukalah Pintu Hatimu

Sewaktu saya masih berumur sekitar 13 tahun, ayah memanggil saya dan mengatakan sesuatu yang merubah hidup saya di kemudian hari. Kami berdua di dalam mobilnya yang tua dan usang, di tepi jalan pemukiman miskin London. Dia memutar badannya ke arah saya dan berkata: "Nak, apapun yang kau lakukan dalam hidupmu, ketahuilah, pintu rumahku akan selalu terbuka untukmu."

Saya hanyalah seorang remaja pada waktu itu. Saya tidak benar-benar mengerti apa yang dimaksudkan ayah, tapi saya tahu itu adalah sesuatu yang penting, maka saya selalu mengingatnya. Ayah meninggal dunia tiga tahun kemudian. Ketika saya menjadi bhikkhu di Thailand bagian Utara Timur, saya kembali memikirkan kata-kata ayah. Rumah kami saat itu hanyalah sebuah flat kecil di daerah miskin London, bukan sebuah rumah yang menarik untuk dibukakan pintunya. Tapi saya menyadari bukan itu maksud ayah sebenarnya. Apa yang terkandung dalam kata-kata ayah, seperti sebuah permata yang terbungkus kain, adalah sebuah ekspresi paling jernih mengenai cinta yang pernah saya dengar: "Nak, apapun yang kau lakukan dalam hidupmu, ketahuilah, pintu hatiku akan selalu terbuka untukmu."

Ayah saya menawarkan cinta tak berkondisinya. Tidak ada maksud tersembunyi. Saya adalah anaknya, itu saja. Begitu indah. Begitu nyata. Dia sungguh-sungguh. Memerlukan keberanian dan kebijaksanaan untuk mengatakan hal tersebut kepada orang lain, untuk membuka pintu hatimu kepada seseorang, tanpa "kalau". Mungkin kita berpikir mereka akan mengambil keuntungan dari kita, tapi bukan itu, tidak demikian dalam pengalaman saya. Sewaktu anda diberikan cinta semacam itu dari orang lain, sama halnya seperti menerima hadiah yang paling berharga. Anda harus menghargainya, simpan baik-baik di dalam hati anda, jangan sampai hilang. Walaupun saat itu saya hanya mengerti sebagian dari maksud kata-kata ayah, saya tidak berani menyakiti pria seperti itu. Kalau anda memberikan kata-kata itu kepada orang yang dekat dengan anda, kalau anda sungguh-sungguh, kalau itu datang dari hati anda, maka orang itu akan menyambut ke depan, bukan mundur, untuk menggapai cinta anda.

"Opening the Door of Your Heart" Ajahn Brahm
Kisah Deva Ankura
DHAMMAPADA XXIV, 23-26


Sang Buddha mengunjungi Alam Dewa Tavatimsa untuk membabarkan
Abhidhamma kepada Dewa Santusita, yang sebelumnya adalah ibu kandung Beliau.
Selama masa itu, terdapat dewa yang bernama Indaka di alam Dewa Tavatimsa.
Indaka, dalam kehidupannya yang lampau adalah seorang pria, yang telah
mempersembahkan sedikit dana makanan pada Anuruddha Thera. Karena
perbuatan baik ini dilakukan kepada seorang Thera dalam masa keberadaan
ajaran Buddha, maka ia mendapat pahala berlipat ganda. Kemudian, setelah
kematian, ia dilahirkan kembali dalam Alam Tavatimsa dan menikmati
kemewahan alam dewa.

Pada saat itu, terdapat dewa lain yang bernama Ankura di Alam Dewa
Tavatimsa yang telah banyak memberikan dana; jauh lebih banyak daripada apa
yang telah Indaka berikan. Tetapi dana itu dilakukan di luar masa
keberadaan ajaran Buddha. Sehingga meskipun dananya besar dan banyak, ia
menikmati pahala kehidupan dewa dalam ukuran yang lebih kecil daripada
Indaka, yang telah mempersembahkan sangat sedikit dana.

Ketika Sang Buddha berada di Tavatimsa, Ankura bertanya kepada Beliau
alasan ketidak-sesuaian perolehan pahala itu.
Kepadanya Sang Buddha menjawab, "O dewa! Ketika memberikan dana kamu
seharusnya memilih kepada siapa kamu memberi, karena perbuatan dana
seperti halnya menanam bibit. Bibit yang ditanam di tanah yang subur akan
tumbuh menjadi pohon atau tanaman yang kuat dan hebat, serta akan
menghasilkan banyak buah; tetapi kamu telah menebarkan bibitmu di tanah yang
tandus, sehingga kamu memperoleh sangat sedikit".

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 356 sampai dengan 359 berikut
ini:

Rumput liar merupakan bencana bagi sawah dan ladang;
nafsu indria merupakan bencana bagi manusia.
Karena itu, dana yang dipersembahkan kepada mereka yang telah bebas
dari nafsu indria akan menghasilkan pahala yang besar.

Rumput liar merupakan bencana bagi sawah dan ladang;
kebencian merupakan bencana bagi manusia.
Karena itu, dana yang dipersembahkan kepada mereka yang telah bebas
dari kebencian akan menghasilkan pahala yang besar.

Rumput liar merupakan bencana bagi sawah dan ladang;
ketidak-tahuan merupakan bencana bagi manusia.
Karena itu, dana yang dipersembahkan kepada mereka yang telah bebas
dari ketidak-tahuan akan menghasilkan pahala yang besar

Rumput liar merupakan bencana bagi sawah dan ladang;
iri hati merupakan bencana bagi manusia.
Karena itu, dana yang dipersembahkan kepada mereka yang telah bebas
dari iri hati akan menghasilkan pahala yang besar.

Kerendahan Hati

Kalau engkau tak sanggup jadi beringin yang tumbuh di puncak bukit, jadilah saja belukar. Tetapi belukar yang terbaik yang tumbuh di tepi danau.
Kalau engkau tak sanggup jadi belukar, jadilah saja rumput. Tapi rumput terbaik yang memperkuat tanggul di pinggiran jalan.
Kalau engkau tak sanggup jadi jalan besar; jadilah saja jalan kecil, yang membawa orang ke mata air.
Tak semua menjadi nahkoda; tentu ada awak kapalnya. Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi rendahnya dirimu. Jadilah saja dirimu, sebaik-baiknya dirimu sendiri.

Cobalah Untuk Merenung

Sediakan beberapa menit dalam sehari untuk melakukan perenungan. Lakukan setelah bangun tidur, segera setelah bangun tidur. Atau di malam hari sesaat sebelum beranjak tidur. Merenunglah dalam keheningan. Jangan gunakan pikiran untuk mencari berbagai jawaban. Dalam perenungan anda tidak mencari jawaban. Cukup berteman dengan ketenangan maka anda akan mendapatkan kejernihan pikiran. Jawaban berasal dari pikiran anda yang bening. Selama berhari-hari anda disibukkan oleh berbagai hal. Sadarilah bahwa pikiran anda memerlukan istirahat. Tidah cukup hanya dengan tidur. Anda perlu tidur dalam keadaan terbangun. Merenunglah dan dapatkan ketentraman batin.

Pikiran yang digunakan itu bagaikan air sabun yang diaduk dalam sebuah gelas kaca. Semakin banyak sabun yang tercampur semakin keruh air. Semakin cepat anda mengaduk semakin cepat pusaran. Merenung adalah menghentikan adukan. Dan membiarkan air berputar perlahan. Perhatikan partikel sabun turun satu per satu, menyentuh dasar gelas. Benar-benar perlahan. Tanpa suara. Bahkan anda mampu mendengar luruhnya partikel sabun. Kini anda mendapatkan air jernih tersisa di permukaan. Bukankah air yang jernih mampu meneruskan cahaya? Demikian halnya dengan pikiran anda yang bening.


Jangan lihat masa lampau dengan penyesalan, jangan pula lihat masa depan dengan ketakutan, tapi lihatlah kesekitarmu dengan penuh kesadaran ~ James Thurber

Tanpa Kekerasan

Dr. Arun Gandhi adalah cucu Mahatma Gandhi dan pendiri Lembaga M.K.Gandhi untuk Tanpa-Kekerasan. Ia memberi ceramah di Universitas Puerto Rico dan bercerita bagaimana
memberikan contoh tanpa-kekerasan yang dapat diterapkan di sebuah keluarga.

"Waktu itu saya masih berusia 16 tahun dan tinggal bersama orang tua di sebuah lembaga yang didirikan oleh kakek saya, ditengah-tengah kebun tebu, 18 mil di luar kota Durban, Afrika Selatan. Kami tinggal jauh di pedalaman dan tidak memiliki tetangga. Tak heran bila saya dan dua saudara perempuan saya sangat senang bila ada kesempatan pergi ke kota untuk mengunjungi teman atau menonton bioskop.
Suatu hari, ayah meminta saya untuk mengantarkan beliau ke kota untuk menghadiri konferensi sehari penuh. Dan, saya sangat gembira dengan kesempatan itu. Tahu bahwa saya akan pergi ke kota, ibu memberikan daftar belanjaan yang ia perlukan. Selain itu, ayah juga meminta saya untuk mengerjakan beberapa pekerjaan yang lama tertunda, seperti memperbaiki mobil di bengkel.
Pagi itu, setiba di tempat konferensi, ayah berkata, "Ayah tunggu kau disini jam 5 sore. Lalu kita akan pulang ke rumah bersama-sama." Segera saja saya menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang diberikan oleh ayah saya. Kemudian, saya pergi ke bioskop. Wah, saya benar-benar terpikat dengan dua permainan John Wayne sehingga lupa akan waktu. Begitu melihat jam menunjukkan pukul 17:30, langsung saya berlari menunju bengkel mobil dan terburu-buru menjemput ayah yang sudah menunggu saya. Saat itu sudah hampir pukul 18:00. Dengan gelisah ayah menanyai saya, "Kenapa kau terlambat?" Saya sangat malu untuk mengakui bahwa saya menonton film John Wayne sehingga saya menjawab, "Tadi, mobilnya belum siap sehingga saya harus menunggu."
Padahal, ternyata tanpa sepengetahuan saya, ayah telah menelepon bengkel mobil itu. Dan, ayah tahu kalau saya berbohong. Lalu ayah berkata, "Ada sesuatu yang salah dalam membesarkan kau sehingga kau tidak memiliki keberanian untuk menceritakan kebenaran pada ayah.
Untuk menghukum kesalahan ayah ini, ayah akan pulang ke rumah dengan berjalan kaki
sepanjang 18 mil dan memikirkannya baik-baik."
Lalu, dengan tetap mengenakan pakaian dan sepatunya, ayah mulai berjalan kaki pulang ke rumah. Padahal hari sudah gelap, sedangkan jalanan sama sekali tidak rata. Saya tidak bisa meninggalkan ayah, maka selama lima setengah jam, saya mengendarai mobil pelan-pelan di
belakang beliau, melihat penderitaan yang dialami oleh ayah hanya karena kebohongan yang
bodoh yang saya lakukan.
Sejak itu saya tidak pernah akan berbohong lagi. Seringkali saya berpikir mengenai episode ini dan merasa heran. Seandainya ayah menghukum saya sebagaimana kita menghukum anak-anak kita maka apakah saya akan mendapatkan sebuah pelajaran mengenai tanpa-kekerasan? Saya kira
tidak.Saya akan menderita atas hukuman itu dan melakukan hal yang sama lagi. Tetapi, hanya
dengan satu tindakan tanpa-kekerasan yang sangat luar biasa, sehingga saya merasa kejadian itu baru saja terjadi kemarin. Itulah kekuatan tanpa-kekerasan."

“The PowerOf Nonviolence” oleh Dr. Arun Gandhi

Batu Besar

Suatu hari seorang dosen sedang memberi kuliah tentang manajemen waktu pada para mahasiswa MBA. Dengan penuh semangat ia berdiri di depan kelas dan berkata, “Okay, sekarang waktunya untuk quis.” Kemudian ia mengeluarkan sebuah ember kosong dan meletakkannya di meja. Kemudian ia mengisi ember tersebut dengan batu sebesar sekepalan tangan. Ia mengisi terus hingga tidak ada lagi batu yang cukup untuk dimasukkan ke dalam ember. Ia bertanya pada kelas, “Menurut kalian, apakah ember ini telah penuh?” Semua mahasiswa serentak berkata , “Ya!”

Dosen bertanya kembali, “Sungguhkah demikian?” Kemudian, dari dalam meja ia mengeluarkan sekantung kerikil kecil. Ia menuangkan kerikil-kerikil itu ke dalam ember lalu mengocok-ngocok ember itu sehingga kerikil-kerikil itu turun ke bawah mengisi celah-celah kosong di antara batu-batu. Kemudian sekali lagi ia bertanya pada kelas, “Nah, apakah sekarang ember ini sudah penuh?” Kali ini para mahasiswa terdiam. Seseorang menjawab, “Mungkin tidak.”

“Bagus sekali,” sahut dosen. Kemudian ia mengeluarkan sekantung pasir dan menuangkannya kedalam ember. Pasir itu berjatuhan mengisi celah-celah kosong antara batu dan kerikil. Sekali lagi, ia bertanya pada kelas, “Baiklah, apakah sekarang ember ini sudah penuh?” “Belum!” sahut seluruh kelas.

Sekali lagi ia berkata, “Bagus. Bagus sekali.” Kemudian ia meraih sebotol air dan mulai menuangkan airnya ke dalam ember sampai ke bibir ember. Lalu ia menoleh ke kelas dan bertanya, “Tahukah kalian apakah maksud illustrasi ini?”
Seorang mahasiswa dengan semangat mengacungkan jari dan berkata, “Maksudnya adalah, tak peduli seberapa padat jadwal kita, bila kita mau berusaha sekuat tenaga maka pasti kita bisa mengerjakannya.”

“Oh, bukan,” sahut dosen, “Bukan itu maksudnya. Kenyataan dari illustrasi mengajarkan pada kita bahwa: bila anda tidak memasukkan “batu besar” terlebih dahulu maka anda tidak akan bisa memasukkan semuanya.”
Apa yang dimaksud dengan “batu besar” dalam hidup anda? Keluarga anda; anak-anak anda, pasangan anda, pendidikan anda. Hal-hal yang penting di dalam hidup anda; mengajarkan sesuatu yang berharga pada orang lain, melakukan pekerjaan yang anda cintai, waktu untuk diri sendiri, kesehatan anda, teman anda, apapun yang anda anggap paling berharga.

Ingatlah untuk selalu memasukkan “Batu Besar” pertama kali atau anda akan kehilangan semuanya. Bila anda mengisinya dengan hal-hal kecil (semacam kerikil dan pasir) maka hidup anda akan penuh dengan hal-hal kecil yang merisaukan dan ini semestinya tidak perlu. Karena dengan demikian anda tidak akan pernah memiliki waktu yang sesungguhnya anda perlukan untuk hal-hal besar dan penting.
“Apakah “Batu Besar” dalam hidup saya?” Lalu kerjakan itu pertama kali. “

Paku

Suatu ketika, ada seorang anak laki-laki yang bersifat pemarah. Untuk mengurangi kebiasaan marah sang anak, ayahnya memberikan sekantong paku dan mengatakan pada anak itu untuk memakukan sebuah paku di pagar belakang setiap kali dia marah.
Hari pertama anak itu telah memakukan 48 paku ke pagar setiap kali dia marah. Lalu secara bertahap jumlah itu berkurang. Dia mendapati bahwa ternyata lebih mudah menahan amarahnya daripada memaku paku ke pagar.
Akhirnya tibalah hari dimana anak tersebut merasa sama sekali bisa mengendalikan amarahnya dan tidak cepat kehilangan kesabarannya. Dia memberitahukan hal ini kepada ayahnya, yang kemudian mengusulkan agar dia mencabut satu paku untuk setiap hari dimana dia tidak marah.

Hari-hari berlalu dan anak laki-laki itu akhirnya memberitahu ayahnya bahwa semua paku telah tercabut olehnya. Lalu sang ayah menuntun anaknya ke pagar. “Hmm, kamu telah berhasil dengan baik anakku, tapi lihatlah lubang-lubang di pagar ini. Pagar ini tidak akan pernah bisa sama seperti sebelumnya. “Ketika kamu mengatakan sesuatu dalam kemarahan. Kata-katamu meninggalkan bekas seperti lubang ini… di hati orang lain. Kamu dapat menusukkan pisau pada seseorang, lalu mencabut pisau itu… Tetapi tidak peduli beberapa kali kamu minta maaf , luka itu akan tetap ada … dan luka karena kata-kata adalah sama buruknya dengan luka fisik …”


Jika anda membiarkan sesuatu yang kecil berlalu, anda akan menemukan kedamaian yang kecil juga. Jika anda membiarkan lebih banyak hal berlalu, anda akan meraih banyak kedamaian. Jika anda benar-benar membiarkan seluruhnya berlalu, anda akan mendapat seluruh kedamaian ~ Ajahn Chah

Kekuatan Api Cinta Kasih

Alkisah suatu ketika, Kapak, Gergaji, Kayu dan Nyala Api sedang mengadakan perjalanan bersama-sama. Di suatu tempat, perjalanan mereka terhenti karena terdapat sepotong besi baja yang tergeletak menghalangi jalanan. Mereka berusaha menyingkirkan baja tersebut dengan kekuatan yang mereka miliki masing-masing.
“Itu bisa aku singkirkan,” kata Kapak. Pukulan-pukulannya keras sekali menghantam baja yang kuat dan keras juga itu. Tapi tiap bacokan hanya membuat kapak itu lebih tumpul sendiri sampai ia berhenti.
“Sini, biar aku yang urus,” kata Gergaji. Dengan gigi-gigi yang tajam tanpa perasaan, iapun mulai menggergaji. Tapi kaget dan kecewa ia, semua giginya jadi tumpul dan rontok.
“Apa kubilang,” kata Palu. “Kan sudah kubilang, kalian tak bisa. Sini, sini aku tunjukkan caranya.” Tapi baru sekali ia memukul, kepalanya terpental sendiri, dan baja tetap tak berubah.
“Boleh aku coba?” tanya Nyala Api. Dan iapun melingkarkan diri, dengan lembut, memeluk, dan mendekap baja erat-erat tanpa mau melepaskannya. Baja yang keras itupun meleleh cair.

Ada banyak hati yang cukup keras untuk melawan kemurkaan dan amukan kemarahan demi harga diri. Tapi jarang ada hati yang tahan melawan nyala api cinta kasih yang hangat, dengan kelembutan mencairkan hati yang dingin.

Cintai Semua Nyawa

“Apakah kamu merasa lebih baik hari ini?” tanya Fan. Ia tahu istrinya menderita TBC dan tidak mudah untuk disembuhkan, tetapi dia menjaganya dengan lembut dan sepenuh hati. “Terima kasih atas perhatianmu…” kata istrinya dengan mimik sangat kesakitan.
Fan meminta dokter terbaik di Ching’ou, Dokter Chen Shiying untuk mengobati istrinya. Dokter Chen memeriksa dengan teliti dan hati-hati.

“Penyakit istrimu cukup parah, tapi ada satu cara untuk mengobatinya. Ambil seratus kepala burung pipit dan buatlah obat sesuai dengan resep ini. Kemudian pada hari ketiga dan ketujuh, mintalah istrimu untuk memakan otak burung pipit tersebut. Itu adalah caranya. Ini merupakan resep turun-temurun dari nenek moyangku dan belum pernah gagal. Tapi ingat kamu harus mencari seratus ekor burung pipit, dan tidak boleh kurang satupun.”

Fan ingin sekali menolong istrinya, sehingga dia langsung pergi membeli seratus ekor burung pipit. Burung-burung tersebut berdesakan dalam sangkar yang tidak terlalu besar. “Apa yang akan kau lakukan dengan burung-burung itu?” tanya nyonya Fan. “Ini resep special Dokter Chen. Kita akan membuat mereka menjadi obat dan kamu akan segera sembuh,” suaminya dengan gembira menjawab.
Mendengar hal itu, nyonya Fan segera bangun dari tidurnya dan berkata, “Tidak, jangan lakukan itu!” “Kamu tidak boleh mengambil seratus nyawa hanya untuk menyelamatkan saya!” “Saya lebih baik mati daripada membiarkanmu membunuh burung-burung itu untukku.”

Fan tak tahu apa yang harus dia lakukan. “Kalau kamu benar-benar ingin menolong, lakukanlah permintaanku, buka sangkar burung itu, dan lepaskan mereka semua. Biarkan mereka pergi. Jika saya mati, maka saya akan mati dengan tentram.”
Fan menuruti permintaan istrinya, dia membawa sangkar burung itu ke hutan dan membebaskan seluruh burung pipit dalam sangkar. Mereka terbang dengan bebas ke semak-semak dan pepohonan.

Dalam beberapa hari, nyonya Fan dapat bangun dan turun dari tempat tidurnya walaupun tidak meminum obat apapun. Keluarga dan teman-teman datang memberinya selamat atas kesembuhannya. Tahun berikutnya, keluarga Fan mendapat bayi laki-laki yang sehat dan lucu dan di setiap lengan bayi tersebut terdapat tanda lahir seperti bentuk burung pipit.

Sumber: The Love Of Life, Judul asli: One Hundred Lives

Lepaskan Kepalanmu

Di suatu hutan hiduplah sekelompok monyet. Pada suatu hari, tatkala mereka tengah bermain, tampak oleh mereka sebuah toples kaca berleher panjang dan sempit yang bagian bawahnya tertanam di tanah. Di dasar toples itu ada kacang yang sudah dibubuhi dengan aroma yang disukai monyet. Rupanya toples itu adalah perangkap yang ditaruh di sana oleh seorang pemburu.

Salah seekor monyet muda mendekat dan memasukkan tangannya ke dalam toples untuk mengambil kacang-kacang tersebut. Akan tetapi tangannya yang terkepal menggenggam kacang tidak dapat dikeluarkan dari sana karena kepalan tangannya lebih besar daripada ukuran leher toples itu. Monyet ini meronta-ronta untuk mengeluarkan tangannya itu, namun tetap saja gagal.

Seekor monyet tua menasihati monyet muda itu: “Lepaskanlah kepalanmu atas kacang-kacang itu! Engkau akan bebas dengan mudah!” Namun monyet muda itu tidak mengindahkan anjuran tersebut, tetap saja ia bersikeras menggenggam kacang itu.

Beberapa saat kemudian, sang pemburu datang dari kejauhan. Sang monyet tua kembali meneriakkan nasihatnya: “Lepaskanlah kepalanmu sekarang juga agar engkau bebas!” Monyet muda itu ketakutan, namun tetap saja ia bersikeras untuk mengambil kacang itu. Akhirnya, ia tertangkap oleh sang pemburu.

Demikianlah, kadang kita juga sering mencengkeram dan tidak rela melepaskan hal-hal yang sepatutnya kita lepaskan: kemarahan, kebencian, iri hati, ketamakan, dan sebagainya. Apabila kita tetap tak bersedia melepas, tatkala kematian datang “menangkap” kita, semuanya akan terlambat sudah.

Bukankah lebih mudah jika kita melepaskan setiap masalah yang lampau, dan menatap hari esok dengan lebih cerah? Bukankah dunia akan menjadi lebih indah jika kita bisa melepaskan “kepalan” kita dan membagi kebahagiaan dengan orang lain?

Lebih Dari Sekedar Ucapan Terima Kasih

Seorang anak minta dibelikan jagung bakar. Dengan sedikit enggan ibunya mengulurkan selembar uang dan mengawasinya dari kejauhan. Lalu si anak dengan tekun mengikuti gerak-gerik nenek tua penjual jagung bakar memainkan kipas bambunya. Mata kanak-kanaknya membulat terheran-heran pada pletikan biji jagung, asap serta harum yang tertebar kemana-mana. Sedangkan nenek tua berpakaian lusuh itu tersenyum melirik anak kecil yang jongkok di sebelahnya. Mata tuanya meredup, melayang entah kemana. Sesekali di cubitnya pipi anak itu. Kemudian diberikannya jagung bakar itu pada anak yang sedari tadi berharap-harap takjub. Katanya, “Ambil saja buatmu, Nak. Tak usah dibayar.” Si ibu berkata pada sang ayah, “Lumayan, kita dapat satu rejeki satu jagung bakar.” Lalu mereka pergi meninggalkan taman kota itu dengan kendaraan roda empat mereka.

Memang, menerima selalu menyenangkan. Namun, memberi dengan sikap tulus lebih membahagiakan.

Menyingkirkan Duri

Kita berbuat baik tentunya bukan untuk mengharapkan sesuatu. Karena kita sadar itulah peran yang harus kita mainkan. Adalah kewajiban kita untuk menyingkirkan duri di jalan yang sedang kita lalui, bukan saja agar tak melukai diri kita, namun untuk menjaga para pejalan yang lain.
Jadi meski tak seorang pun mengucapkan terima kasih atas perbuatan baik anda, itu tak perlu mengecilkan arti kerja anda. Mungkin saja orang lain tak memahami kebaikan itu, karena mereka menganggap memang seharusnya anda lakukan itu. Maka, apalah artinya sebuah ucapan terimakasih. Biarkan saja kebaikan mengalir dari tangan anda. Dan, biarkan benak anda terbebas dari perasaan berjasa.

Amatlah sedikit yang diperlukan untuk membuat suatu kehidupan yang membahagiakan, semuanya ada di dalam diri anda sendiri, yaitu di dalam cara anda berpikir dan bersikap
~ Fred Corbett

Setiap Langkah Adalah Anugerah

Seorang professor diundang untuk berbicara di sebuah basis militer. Disana ia berjumpa dengan seorang prajurit yang tak mungkin dilupakannya, bernama Harry.
Harry yang dikirim untuk menjemput sang professor di bandara. Setelah saling memperkenalkan diri, mereka menuju ke tempat pengambilan kopor. Ketika berjalan ke luar, Harry sering menghilang. Banyak hal yang dilakukannya. Ia membantu seorang wanita tua yang kopornya jatuh. Kemudian mengangkat seorang anak kecil agar dapat melihat pemandangan. Ia juga menolong orang yang tersesat dengan menunjukkan arah yang benar. Setiap kali, ia kembali ke sisi professor itu dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.

“Darimana anda belajar melakukan hal-hal seperti itu?” tanya sang Profesor. “Oh,” kata Harry, “selama perang saya kira.” Lalu ia menuturkan kisah perjalanan tugasnya di Vietnam. Juga tentang tugasnya saat membersihkan ladang ranjau, dan bagaimana ia harus menyaksikan satu persatu temannya tewas terkena ledakan ranjau di depan matanya.

“Saya belajar untuk hidup diantara pijakan setiap langkah,” katanya. “Saya tak pernah tahu apakah langkah berikutnya merupakan pijakan yang terakhir, sehingga saya belajar untuk melakukan segala sesuatu yang sanggup saya lakukan tatkala mengangkat dan memijakkan kaki. Setiap langkah yang saya ayunkan merupakan sebuah dunia baru, dan saya kira sejak saat itulah saya menjalani kehidupan seperti ini.”
Kelimpahan hidup tidak ditentukan oleh berapa lama kita hidup, tetapi sejauh mana kita menjalani kehidupan yang berkualitas.

Kalau Anda mencoba memahami segala sesuatu, Anda tidak akan memahami apa pun. Kalau Anda memahami diri sendiri, Anda akan memahami segala sesuatu ~ Shunryn Suzuki

Olimpiade Yang Istimewa

Beberapa tahun lalu, diadakan olimpiade khusus orang-orang cacat di Seattle. Saat itu dilakukan pertandingan lari sejarak 100 meter. Sembilan pelari telah bersiap-siap ditempat start masing-masing. Ketika pistol tanda pertandingan dinyalakan, mereka semua berlari, meski tidak tepat berada di garis lintasannya, namun semuanya berlari dengan wajah gembira menuju garis finish dan berusaha untuk memenangkan pertandingan. Kecuali, seorang pelari, anak lelaki, tiba-tiba tersandung dan terjatuh berguling beberapa kali. Ia lalu menangis.

Delapan pelari mendengar tangisan anak lelaki yang terjatuh itu. Mereka lalu memperlambat lari mereka dan menoleh ke belakang. Mereka semua berbalik dan berlarian menuju anak lelaki yang terjatuh di tanah itu. Semuanya tanpa terkecuali.
Seorang gadis yang menyandang cacat keterbelakangan mental menunduk, memberikan sebuah ciuman padanya dan berkata, “Semoga ini membuatmu merasa lebih baik.” Kemudian kesembilan pelari itu saling bergandengan tangan, berjalan bersama menyelesaikan pertandingan menuju garis finish.

Seluruh penonton yang ada di stadion itu berdiri, memberikan salut selama beberapa lama. Di dalam diri kita yang terdalam kita tahu bahwa: dalam hidup ini tak ada yang jauh lebih berharga daripada kemenangan bagi kita semua. Yang terpenting dalam hidup ini adalah saling tolong menolong meraih kemenangan, meski kita harus mengalah dan mengubah diri kita sendiri.

Jika Anda membuat seseorang bahagia hari ini, Anda juga membuat dia berbahagia dua puluh tahun lagi, saat ia mengenang peristiwa itu ~ Sydney Smith

Tangis Untuk Adikku

Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku, yang mencintaiku lebih daripada aku mencintainya.

Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu ditangannya.

“Siapa yang mencuri uang itu?” Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapapun mengaku jadi Beliau mengatakan, “Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!”
Dia mengangkat tongkat bambu itu tinggi-tinggi. Tiba-tiba adikku mencengkeram tangannya dan berkata, “Ayah, aku yang melakukannya!.

Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan napas. Sesudahnya, Beliau duduk diatas ranjang batu bata kami dan memarahi, “Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!”

Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, “Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi.”
Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu adikku berusia 8 tahun, aku berusia 11.

Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas provinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya memberengut, “Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik, hasil yang begitu baik.” Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, “Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?”

Saat itu juga, adikku berjalan keluar kehadapan ayah dan berkata, “Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup banyak membaca buku.”
Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. “Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!”

Dan begitu selesai bicara kemudian ia pergi mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, “Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya. Kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini.” Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas.

Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: “Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimimu uang.”

Aku memegang kertas tersebut diatas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun, aku 20.
Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga. Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, “Ada seseorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!”

Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, “Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?” Dia menjawab, tersenyum, “Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?”

Aku merasa terenyuh dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku,” Aku tidak perduli omongan siapapun! Kamu adalah adikku apapun juga! Kamu adalah adikku bagaimanapun penampilanmu…”

Dari sakunya ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, terus menjelaskan, “Saya melihat semua gadis kota memakainya, jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu.”
Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis, dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20, aku 23.

Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah. Kaca jendela yang pecah telah diganti dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. “Bu, ibu tidak perlu menghabiskan banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!” Tetapi katanya, sambil tersenyum, “Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.”

Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan membalut lukanya. “Apakah itu sakit?” Aku menanyakannya.
“Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan…” Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.
Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Berulangkali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, “Kak, jagalah mertuamu saja. Saya akan menjaga ibu dan ayah disini.”

Suamiku menjadi direktur di sebuah pabrik. Kami menginginkan adikku mendapat pekerjaan sebagai manager pada departemen pemeliharaan. Tapi adikku menolak tawaran tersebut. Dia bersikeras memulai pekerjaan di bidang reparasi.
Suatu hari adikku berada di atas sebuah tangga untuk memperbaiki kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik dan masuk rumah sakit. Kami pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya aku menggerutu, “Mengapa kamu menolak menjadi manager? Manager tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, lukamu begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar saran kami?”
Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya, “Pikirkan kakak ipar, ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manager, apa kata orang nanti?”

Mata suamiku dipenuhi air mata, dan dengan terbata-bata, aku berkata kepadanya, “Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!”
“Mengapa membicarakan masa lalu?” Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu ia berusia 26 dan aku 29.

Adikku berusia 30 tahun ketika ia menikahi gadis petani dari dusun. Dalam acara perayaan pernikahannya, pembawa acara bertanya kepadanya, “Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?” Tanpa berpikir lama, ia menjawab, “Kakakku.”
Ia melanjutkan dengan menceritakan sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. “Waktu SD, sekolah kami berada di dusun yang berbeda. Setiap hari kami harus berjalan dua jam untuk pergi dan pulang sekolah. Suatu hari di musim dingin, aku kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Dia hanya memakai satu saja untuk perjalanan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpit. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakak, dan baik kepadanya.”

Tepuk tangan membanjiri ruangan. Semua tamu memalingkan wajah memandangku.
Kata-kata begitu susah keluar dari bibirku, “Dalam hidupku, orang yang paling kukasihi adalah adikku.”
Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia itu, di depan begitu banyak orang, air mata mengalir membasahi wajahku.


Kita tidak tahu bagaimana hari esok, yang bisa kita lakukan adalah berbuat sebaik-baiknya dan berbahagia pada hari ini ~ Samuel Taylor Coleridge




Jendela Rumah Sakit

Dua orang pria, keduanya menderita sakit keras, sedang dirawat di sebuah kamar rumah sakit. Seorang diantaranya menderita suatu penyakit yang mengharuskannya duduk di tempat tidur selama satu jam setiap sore untuk mengosongkan cairan dari paru-parunya. Kebetulan, tempat tidurnya berada tepat di sisi jendela satu-satunya yang ada di kamar itu.

Sedangkan pria yang lain harus berbaring lurus di atas punggungnya.
Setiap hari mereka saling bercakap-cakap selama berjam-jam. Mereka membicarakan istri dan keluarga, rumah, pekerjaan, keterlibatan mereka di ketentaraan, dan tempat-tempat yang pernah mereka kunjungi selama liburan.
Setiap sore, ketika pria yang tempat tidurnya berada di dekat jendela diperbolehkan untuk duduk, ia menceritakan tentang apa yang terlihat diluar jendela kepada rekan sekamarnya.

Selama satu jam itulah, pria kedua merasa begitu senang dan bergairah membayangkan betapa luas dan indahnya semua kegiatan dan warna–warna indah yang ada di luar sana. “Di luar jendela, tampak sebuah taman dengan kolam yang indah. Itik dan angsa berenang-renang cantik, sedangkan anak-anak bermain dengan perahu-perahu mainan. Beberapa pasangan berjalan bergandengan ditengah taman yang dipenuhi dengan berbagai macam bunga berwarnakan pelangi. Sebuah pohon tua besar menghiasi taman itu. Jauh di atas sana terlihat kaki langit kota yang mempesona. Suatu senja yang indah.”

Pria pertama itu menceritakan keadaan di luar jendela dengan detil, sedangkan pria yang lain berbaring memejamkan mata membayangkan semua keindahan pemandangan itu. Perasaannya menjadi lebih tenang, dalam menjalani kesehariannya di rumah sakit itu.
Semangat hidupnya menjadi lebih kuat, percaya dirinya bertambah.

Pada suatu sore yang lain, pria yang duduk didekat jendela menceritakan tentang parade karnaval yang sedang melintas. Meski pria yang kedua tidak dapat mendengar suara parade itu, namun ia dapat melihatnya melalui pandangan mata pria yang pertama yang menggambarkan semua itu dengan kata-kata yang indah. Begitulah seterusnya, dari hari ke hari. Dan, satu minggu pun berlalu.

Suatu pagi, perawat datang membawa sebaskom air hangat untuk mandi. Ia mendapati ternyata pria yang berbaring di dekat jendela itu telah meninggal dunia dengan tenang dalam tidurnya. Perawat itu menjadi sedih lalu memanggil perawat lain untuk memindahkannya ke ruang jenasah. Kemudian pria yang kedua ini meminta pada perawat agar ia bisa dipindahkan ke tempat tidur di dekat jendela itu. Perawat itu menuruti kemauannya dengan senang hati dan mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. Ketika semuanya selesai, ia meninggalkan pria itu seorang diri dalam kamar.

Dengan perlahan dan kesakitan, pria ini memaksakan dirinya untuk bangun. Ia ingin sekali menyaksikan keindahan dunia luar melalui jendela itu. Betapa senangnya, akhirnya ia bisa melihat semuanya sendiri dan menikmati semua keindahan itu. Hatinya tegang, perlahan ia menjengukkan kepalanya ke jendela disamping tempat tidurnya. Apa yang dilihatnya? Ternyata jendela itu menghadap ke sebuah TEMBOK! KOSONG!!!

Ia berseru memanggil perawat dan menanyakan apa yang membuat teman pria yang sudah wafat tadi bercerita seolah-olah melihat semua pemandangan yang indah dibalik semua jendela itu. Perawat itu menjawab bahwa pria tadi sesungguhnya adalah seorang yang buta bahkan tidak bisa melihat tembok sekalipun. “Barangkali ia ingin memberimu semangat hidup” kata perawat itu.


Kebahagiaan bergantung pada apa yang dapat anda berikan, bukan pada apa yang dapat anda peroleh ~ Mohandas Gandhi

Perbuatan Yang Bermanfaat

Demikian telah dikatakan oleh Sang Buddha …
“Wahai para bhikkhu, janganlah takut melakukan perbuatan yang bermanfaat. Perbuatan yang bermanfaat merupakan ungkapan yang menunjukkan kebahagiaan, apa yang pantas dilakukan, yang diinginkan, diharapkan, berharga, dan menyenangkan.”

“Karena telah kuketahui dengan pasti, wahai para bhikkhu, bahwa sudah lama aku mengalami buah-buah yang diinginkan,diharapkan, berharga dan menyenangkan, karena seringnya melakukan perbuatan yang bermanfaat.”

“Setelah selama tujuh tahun mengembangkan pikiran yang penuh cinta kasih, selama tujuh kalpa yang menyusut dan mengembang, aku tidak pernah kembali ke dunia ini. Bilamana kalpa menyusut, aku mencapai alam brahma yang bercahaya gilang gemilang. Ketika kalpa mengembang, aku muncul di alam brahma yang kosong. Di sana aku pernah menjadi Brahma, Brahma Agung, Pemenang Yang Tak Terkalahkan, Yang Maha Tahu, Yang Maha Kuasa.”

“Tiga puluh enam kali aku menjadi Sakka, raja para dewa. Dan beratus-ratus kali aku lahir sebagai Penguasa Pemutar Roda yang berbudi, raja keluhuran, penakluk empat penjuru dunia, yang mempertahankan stabilitas di negeri itu, pemilik tujuh perhiasan. Maka apa gunanya berbicara perihal menjadi raja setempat saja?”

“Wahai para bhikkhu, aku pernah bertanya-tanya dalam hati, tindakanku yang bagaimanakah yang memberikan buah ini? Tindakan manakah yang masak. Sehingga aku sekarang dapat memiliki pencapaian dan kekuatan yang sedemikian besar ini?”
“Dan kemudian muncul dalam diriku, adalah karena pahala tiga jenis tindakanku, matangnya tiga jenis perbuatanku inilah yang membuat aku sekarang memiliki pencapaian dan kekuatan yang sedemikian besar, yaitu perbuatan memberi, menguasai diri, dan menahan diri.”

Orang harus berlatih melakukan perbuatan yang bermanfaat
Yang menghasilkan kebahagiaan yang berlangsung lama:
Dermawan, hidup seimbang, mengembangkan pikiran yang penuh cinta kasih.
Dengan mengembangkan tiga perbuatan ini,
Yaitu perbuatan yang membuahkan kebahagiaan,
Orang bijaksana terlahir kembali dalam kebahagiaan,
dalam alam bahagia yang tidak terganggu.

Itivuttaka I-22